Bakal Darurat Sampah, Kota Bandung Belum Mandiri Kelola Sampah
BANDUNG, GEMA1.COM - Dari tahun ke tahun, permasalahan sampah di Kota Kembang, Bandung, belum bisa dituntaskan dengan baik. Padahal Pemerintah Kota Bandung telah menganggarkan miliaran rupiah di dinas terkait. Hasilnya, Pemerintah Kota Bandung belum bisa mandiri dalam pengelolaan sampah, karena terlalu mengandalkan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Sarimukti yang lokasinya jauh dari kota.
Menurut AY, salah seorang mantan Ketua RW di Kecamatan Arcamanik Kota Bandung mengatakan mengapa Pemkot Bandung tidak mengharuskan tiap kelurahan mengelola sampah di wilayahnya sendiri? “Padahal sumberdaya ada di wilayah kelurahan, sehingga tidak perlu sampah dibuang ke tempat lain yang jaraknya berkilo-kilo meter. Cukup diolah dan dipilah di wilayah kelurahan, sampah-sampah dari masyarakat malah berpotensi menghasilkan uang untuk warga yang mengolahnya,” tegasnya.
TPA Sarimukti Overload
Dengan overloadnya Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Sarimukti kembali menjadi persoalan krusial yang dihadapi Pemkot Bandung sekaligus bagi masyarakat. Sehingga berbagai upaya pun terus dilakukan Pemkot Bandung dengan melibatkan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) hingga tingkat kewilayahan .
Hal ini justru menjadi persoalan bagi para Ketua Rukun Warga (RW) yang harus mempertanggungjawabkan keuangan yang dipungut dari masyarakat untuk operasional petugas pemungut sampah di wilayahnya.
“Kami kerap mendapat protes dari warga ketika petugas kami telat melakukan pengambilan. Padahal persoalanya ketika petugas sampai di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) tidak diijinkan membuang karena adanya keterlambatan armada. Kalaupun ada armadanya sudah terisi sampah yang diangkutnya dari tempat lain. Sehingga petugas kami terpaksa harus menunggu beberapa hari,” ungkap salah seorang ketua RW yang enggan disebutkan namanya, Selasa (5/11/2024).
Dobel Biaya Sampah
Salah satu ketua RW mengaku kalau selama ini dalam setiap bulannya, pihaknya menyetor uang iuran sebesar Rp 600.000 ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung. Jadi kalau ada keterlambatan pengangkutan pihaknya harus mengeluarkan kocek kembali Rp 50.000 ke sopir dump truk agar bisa diangkut.
“Warga mah gak mau tahu yang penting sampahnya diangkut karena sudah merasa bayar. Jadi kalau terjadi keterlambatan pengangkutan kami ini yang kena getahnya diprotes warga. Padahal secara rutin dalam setiap bulanya kita bayar Rp 600.000. Itupun besarannya tergantung dari strata ekonomi masyarakatnya, Jika rata-rata ekonominya mampu ada yang sampai Rp 1 juta. Jadi kalau kita kalikan 1.597 RW se-Kota Bandung sudah berapa dan kemana larinya? Belum lagi dana dari APBD. Buktinya kan sampah selau menjadi persoalan,” paparnya.
“Memang akhirnya bisa diangkut, tapi kami harus mengeluarkan lagi biaya angkut Rp 50.000/kubik kepada sopir pengangkut. Kan dobel biaya,” keluhnya.
Diakuinya, untuk setiap kelurahan DLHK Kota Bandung belakangan memberikan bantuan alat untuk pencacah sampah yang ditempatkan di RW yang mempunyai lahan. Namun kapasitasnya sangat terbatas, bahkan ketika dipake ada yang macet. Padahal target untuk setiap RW itu mampu mengurangi volume dan ritasi hingga 30 persen.
“Memang ada bantuan alat pencacah, namun kapasitasnya sangat terbatas. Jadi kalau boleh saya usul DLHK menyediakan mesin inseneratos yang cukup memadai jangan yang asal-asalan,” ungkapnya. (asyul)
Tidak ada komentar